Beribu tahun lalu, manusia hidup megembara, sambil berburu
dan mencari yang bisa dimakan. Tadinya bulir gandum mereka kunyah begitu saja.
Uh! Keras! Jadi, mereka tumbuk dan beri air supaya lembek. Adonan yang tersisa
mereka jemur sampai kering untuk bekal perjalanan.
Lalu mereka tahu, makanan menjadi lebih enak
kalau dibakar. Jadi, adonan gandum mereka pipihkan di permukaan batu yang
dipanaskan dengan api. Sekitar 4.600 tahun lalu, di Mesir ada orang lupa
mengeringkan adonan tepung. Adonan itu meragi. Setelah dibakar, rasanya lebih
empuk dan lebih enak. Sejak saat itu, mereka sengaja meragikan dulu adonan
tepung supaya mengembang.
Roti masa itu belum seempuk dan seenak
sekarang membuatnya pun menjijikan. Tepung, air
dan ragi dicampur lalu diinjak-injak oleh para budak. Namun roti
tidak lagi dibakar di api terbuka, tetapi di dalam tungku primitif berbentuk
kerucut. Masa itu pekerja Mesir bukan diupah dengan uang, tetapi dengan roti.
Sampai sekarang dalam bahasa inggris pencari nafkah disebut breadwinner.
Sampai sekarang, roti tradisional di Timur
Tengah, India,
Afrika masih pipih. Roti kemudian menjadi makan pokok di berbagai dunia
Orang Belanda menyebut roti dengan sebutan
brood. Itulah sebabnya pada masa yang lalu tukang roti di jakarta menjajakan dagangannya
sambil berteriak "Boot! Boot!"
Selama berabad-abad, bahan utama roti, yaitu
gandum dihaluskan dengan cara digiling memakai batu. Pekerjaan berat itu
dikerjakan para budak dan orang hukuman (kasian ya!)
Sampai abad
ke 10 di Eropa tukang roti selalu dianggap curang. Mereka sering mencampur
tepung bermutu tinggi dengan yang bermutu rendah dan menjual dengan harga
tinggi. Pada awal abad ke -18 tukang roti yang curanh dihukum dengan kejam di
Turki. Telinga mereka dipakukan di tiang pintu. Ih, ngeri!
Berkat kemajuan ilmu pertanian dan penggunaan
masin, tepung gandum kemudian mudah diperoleh dengan harga terjangkau oleh
rakyat jelata. Roti pun bisa dinikmati oleh kamu dan aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar